Type something and hit enter

ads here
On
advertise here
Ngomongin pejabat yang bermasalah memang bukan hal yang enak untuk dibahas, disamping karena saya sudah bosan disuguhkan oleh kasus yang gitu-gitu doang dari televisi dan media massa tapi yang bikin paling bosan 7 turunan ialah kenapa orangnya selalu dia-dia lagi. Si "A" yang kemaren berbuat anu, beberapa bulan kemudian Si "A" yang belum lama kedapatan berbuat anu tak jera lantas sekarang berbuat anu lagi, dan anu lagi untuk kesekian kalinya. Bisa dibayangkan berapa banyak anu-nya si "A" selama hidupnya. Jangan tanya saya, karena saya sudah mencoba untuk menghitung berapa banyak anu-nya si "A" tapi selalu lupa lagi saat masuk hitungan 20..Ratusan? Lebih..

Pertanyaannya adalah, "Parahkah si "A"?. Sungguh sangat disayangkan, jawabannya adalah "belum", karena celakanya lagi  dan yang lebih mengkhawatirkan daripada si "A" ini adalah teman-teman sejawat, seprofesi, selintingan, atau bisa dibilang kroni-kroninya si "A" yang dia pun sadar dan tahu betul kalau mereka ini jauh lebih serakah dan agresif melampaui dirinya sendiri.

Sudah parahkah teman-temannya si "A"?. Teramat malang dan sangat-sangat disayangkan, jawabannya lagi-lagi "belum". Kenapa belum?, karena teman-teman sejawat, seprofesi, selintingan, beserta kroni-kroninya yang lebih serakah dari si "A" ternyata beranak pinak dengan cara membelah diri entah dengan cara bagaimana menjadi bagian-bagian yang lebih kecil namun sangat berpotensi membahayakan!. Seperti sekumpulan rayap, meskipun kecil tapi bukan hal yang mustahil bagi rayap-rayap untuk bisa merobohkan sebuah rumah atau properti lainnya.

Nah, saya akan mengambil salah satu spesimen "rayap" yang saya dapatkan dari kumpulan rayap yang banyak tadi untuk saya bahas.

Perkenalkan, rayap super dari kasta ksatria. Rayap ini pintar, tidak gaptek, melek sosial media, punya FB, Twitter, kemana-mana nenteng laptop plus gadget terbaru dan punya bisnis. Wah, hebat benar rayap ini ☺.
Inilah rayap yang selalu connect dengan rekan sejawatnya sesama rayap. Jadi kalau sekumpulan rayap sedang berpesta pora memakan pohon besar dan lapuk yang roboh, rayap ini pasti selalu di hubungi. Bisnisnya pun tak kalah hebat, yaitu mem"bisnis"kan masyarakat dan memasyarakatkan bisnisnya.

Untuk menjalankan bisnisnya tentu saja ia harus selalu available alias keep in touch alias bisa dihubungin alias ga tinggal di dalam hutan. Untuk biaya telponnya saja mencapai lebih dari satu milyar rupiah atau Rp. 1.722.000.000 lebih tepatnya. Untuk vouchernya saja mencapai Rp.30 juta.

// Wah pak,, jangan gitu dong pak..masa gaji saya setahun masih kalah sama biaya belanja bulanan voucher pulsa bapak setahun..tega amat..
Saya juga punya handphone pak, tapi ga gitu-gitu amat kali pakenya. Emangnya sambil tidur masih telponan juga..atau jangan-jangan bapak ini ketua RT yang mengharuskan 1x24 jam tamu wajib telpon??!!

Kalau saya ini yang punya provider telpon dan merasa diuntungkan dengan gaya hidup bapak yang bergelimang pulsa dan jabatan, ngapain juga saya ber-celoteh miring di blog saya ini.

Saya cuma orang biasa, tapi melihat kenyataan ini terasa amat pahit buat saya. Dengan uang 1 milyar lebih, seharusnya banyak hal yang bisa dimanfaatkan bagi orang banyak ketimbang untuk kepentingan sendiri. Contoh sederhana saja, misalnya setiap pagi sambil asik ber-telponan ria, bapak sembari membagi-bagikan beras dan sembako ke tetangga-tetangga bapak yang miskin. Lagi-lagi itu hanya salah satu contoh saja. Saya juga tahu bapak yang lebih pintar ga mungkin ikut pemikiran saya yang bodoh ini dan tak ber-pulsa ini.

Saya sadar bahwa kepentingan bapak memang jauh melebihi kepentingan saya sehingga kemana pun bapak pergi harus selalu terkoneksi, tapi apakah jumlah biaya pulsa yang mencapai angka 1 milyar itu cukup rasional bagi bapak?.

Melihat kenyataan pahit di negeri ini membuat saya tak merasakan bahagia meskipun saat saya sedang senang. Banyaknya pengangguran, kejahatan, bencana kelaparan di Ibukota membuat hati ini miris..Dibawah bayangan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta ternyata masih banyak orang yang cuma bisa memegangi perutnya di saat lapar, anak-anak jalanan mabok lem di lampu-lampu merah usai ngamen, keluarga sengsara yang tinggal dalam gerobak-gerobak kumuh dipinggir jalan-jalan utama kota. Pulsa tak lagi menarik bagi saya. Pulsa tak semenarik nasi dan tempe.

Manfaatkanlah uang kami dengan bijak.

http://spektrumdunia.blogspot.com/2011/11/hah-biaya-telpon-walikota-surabaya.html

Click to comment