Xiaomi sudah sering dikenal sebagai vendor penjual smartphone dengan harga miring. Xiaomi selalu meluncurkan smartphone canggih dengan spesifikasi yang ditawarkannya pun setara atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan kompetitor sekelasnya, namun dibanderol dengan harga yang lebih murah. Begitu juga dengan smartphone flagship Xiaomi, seperti Mi Mix 2 yang dibanderol 500 Euro di pasaran Eropa, hanya setengah dari harga Galaxy Note 8 atau iPhone X yang setanding.

Bagaimana bisa? Rahasianya mungkin terletak di model bisnis Xiaomi di China yang berbeda dari praktiknya di wilayah pasar lain. Ponsel-ponsel Xiaomi menjalankan OS Android yang dilapis antarmuka ala Xiaomi, MIUI. Di China, MIUI ini banyak dijejali iklan yang muncul di berbagai tempat di dalam antarmuka, bukan hanya di lockscreen. Bagi pengguna ponsel Xiaomi di China, iklan adalah “fitur” yang sengaja dibenamkan sebagai bagian dari ponsel.
Saking banyaknya promosi yang muncul lewat MIUI, sebagian pengguna di China memplesetkan nama antarmuka tersebut menjadi AdUI, kependekan dari advertisement UI. CEO Xiaomi Lei Jun pernah menjawab kritik soal penyaluran iklan lewat ponsel-ponsel Xiaomi di China yang dinilai mengganggu dan berjanji bakal mengurangi penampakan iklan. Lucunya, ponsel XIaomi yang dipasarkan di luar China, termasuk Indonesia, tidak menampilkan iklan. Hal menyebalkan tersebut sekarang hanya merecoki para pengguna di Negeri Tirai Bambu.